Wikipedia

Hasil penelusuran

Senin, 14 Juli 2014

Pengertian dan Contoh Kearifan Lokal

Kearifan Local

Pengertian Kearifan Local
Pengertian kearifan lokal (local wisdom) dalam kamus terdiri dari dua kata:kearifan (wisdom) dan lokal (local). Dalam Kamus Inggris Indonesia John M. Echols danHassan Syadily, local berarti setempat, sedangkan wisdom (kearifan) sama dengankebijaksanaan. Secara umum maka local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahamisebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan,bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Dalam disiplinantropologi dikenal istilah local genius.
Gobyah (2003), mengatakan bahwa kearifan lokal (local genius) adalahkebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Kearifan lokalmerupakan perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan dan berbagai nilai yang ada.Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupunkondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa laluyang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokaltetapi nilai yang terkandung didalamnya dianggap sangat universal.Menurut Caroline Nyamai-Kisia (2010), kearifan lokal adalah sumber pengetahuan yang diselenggarakan dinamis, berkembang dan diteruskan oleh populasi tertentu  yang  terintegrasi  dengan  pemahaman  mereka  terhadap  alam dan  budaya sekitarnya.
Kearifan lokal adalah dasar untuk pengambilan kebijakkan pada level lokal dibidang kesehatan, pertanian, pendidikan, pengelolaan sumber daya alam dan kegiatanmasyarakat pedesaan. Dalam kearifan lokal, terkandung pula kearifan budaya lokal. Kearifan  budaya  lokal  sendiri  adalah  pengetahuan  lokal yang sudah sedemikianmenyatu dengan sistem kepercayaan, norma, dan budaya serta diekspresikan dalamtradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu yang lama

Contoh Kearifan Lokal Masyarakat Sunda

Budaya Sunda dan kearifan lokalnya pun tak luput dari serbuan dekaden global yang menggurita. Pun betul adanya bahwa sumber-sumber sejarah masyarakat Sunda minim dan hanya sedikit sekali penginggalan arkeologis sebagai bukti eksistensinya. Namun dari fakta-fakta sejarah yang tersebar luas tersebut dapat dibangun sebuah konsep umum mengenai Kearifan Lokal masyarakat Sunda yang penuh dengan kesadaran tinggi yang menjadi dasar dan membangun kebudayaan masyarakat Sunda dengan nilai-nilai luhur manusia yang berakal dan berbudaya tinggi. Kearifan Lokal masyarakat Sunda setidaknya tercermin dari 3 bentuk yang dominan: Relasi manusia dengan manusia, Relasi manusia dengan alam, dan relasi manusia dengan Tuhan.

 


Manusia Dengan Manusia
Masyarakat Sunda sendiri dalam relasi antar manusianya bersifat sangat komunal. Artinya mengedepankan prinsif-prinsif kebersamaan. Menukil artikel dari Dr. Gugun Gunadi, M.Si bahwa dalam masyarakat Sunda ada ungkapan: “silih asih, silih asah, dan silih asuh”, yang artinya: saling mengasihi, saling mengasah atau mengajari, dan saling mengasuh sehingga tercipta suasana kehidupan masyarakat yang diwarnai keakraban, kerukunan, kedamaian, ketentraman, dan kekeluargaan.” Ungkapan “silih asih, silih asah, dan silih asuh” adalah sebuah konsep filosofis yang sarat akan makna egaliter, dan menempatkan prinsif-prinsif humanisme pada level yang paling tinggi. Artinya, manusia yang satu adalah penolong bagi manusia lainya.
Konsep relasi antar manusia menurut masyarakat Sunda sendiri begitu sesuai dengan konsep relasi antar manusia dalam ajaran agama Islam yang kentara dengan nilai-nilai sosialimse. Hal tersebut seharusnya menjadikan masyarakat Sunda sebagai masyarakat yang Madani, yang unggul dalam aspek sosial apabila dipraktekan dalam keseharian. Prinsip dasar inilah yang seharusnya menjadi kekuatan tersendiri dalam menjawab tantangan zaman. Apabila pemaknaan akan ungkapan tersebuh dipahami dan diaplikasikan pada kehidupan yang nyata, maka tantangan zaman seberat apapun akan teratasi dengan sedikit mudah.

Manusia Dengan Alam
Bagi Sir Francis Bacon seorang filsuf Inggris abad ke-16, “Alam hanya bisa ditaklukan dengan cara mematuhinya memahami hukum-hukumnya, mempelajari sifat-sifat universalnya, dan pengecualian-pengeculaiannya.” Dengan menaklukan alam, Bacon sangat yakin bahwa kehidupan manusia akan lebih baik dan sejahtera. Sebetulnya, jauh sebelum Sir Francis Bacon menyatakan hal tersebut, masyarakat Sunda—Baduy— sekitar abad ke-7 lebih dahulu mengenal konsep: “Gunung teu meunang dilebur, lebak teu meunang dirusak, larangan teu meunang dirempak, buyut teu meunang dirobah, lojor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambung, nu lain kudu dilainkeun, nu ulah kudu diulahkeun, nu enya kudu dienyakeun.” Yang artinya: “Gunung tak boleh dihancurkan, lembah tak boleh dirusak, larangan tak boleh dilanggar, buyut tak boleh diubah, panjang tak boleh dipotong, pendek tak boleh disambung, yang bukan harus ditiadakan, yang jangan harus dinafikan, yang benar harus dibenarkan.”
Dari konsep masyarakat Sunda Baduy tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa masyarakat Sunda betul-betul menjaga alam sekitarnya. Masyarakat Sunda sadar betul bahwa alam adalah penyedia kehidupan dan menyadari bahwa ada hubungan relasional antara alam dan manusia. Konsep tersebut cenderung bersifat kosmologi. Dimana ada kemanunggalan antara alam dan manusia; bahwa alam semesta (termasuk manusia) adalah sebuah organisme tunggal yang apabila kita—organisme yang tunggal tersebut—membuat perbedaan dan memisahkan dari dalam dirinya sendiri maka hasilnya adalah kehancuran. Kesadaran masyarakat Sunda akan alam sekitarnya adalah sebuah tingkat kesadaran yang mumpuni, berbeda jauh dengan kesadaran masyarakat modern saat ini.



Manusia Dengan Sang Pencipta
Masyarakat Sunda sendiri, pada mulanya menganut keyakinan monotheisme primodial. Artinya memercayai keesaan Tuhan, dan memaknai bahwa semesata adalah sebuah entitas tunggal yang berasal dan berpulang hanya kepadaNya. Dalam salah satu sumber masyarakat Baduy disebutkan: “Niya inyana anu muhung di ayana. Aya tanpa rupa aya tanpa waruga. Hanteu kaambeu-ambeu acan tapi wasa maha kawasa disagala karep inyana. Hyang tunggal tatwa pangajali. Ngawandawa dijagat kabeh alam sakabeh. Halanggiya disaniskara. Hung tatiya ahung”. Yang artinya: “Dia lah yang ada dengan sendirinya. Tiada yang serupa denganNya (Dzat laetsa kamistlihi saeun) Tidak tercium sedikitpun. Tapi berkuasa atas segala qudrat dan iradatNya. Sang Hyang Agung Yang Maha Esa. Dialah sebenarnya Sang “Penyembahan” Tiada beranak Tiada bersaudara. Mempunyai teman pun tidak dijagat dan dialam ini Yang paling unggul disegala-gala. Hung, nah itulah Sang Benar Sejati, Ahung.”
Pada perkembangannya keyakinan masyarakat Sunda mengalami sinkretisme dengan ajaran Hindu dan Buddha. Namun dewa-dewa dalam ajaran Hindu dan Buddha ditempatkan dalam level yang lebih rendah sehingga masyarakat Sunda tetap berkeyakinan bahwa realitas tertinggi hanyalah Tuhan Yang Maha Satu: Hyang Tunggal. Peleburan agama Hindu-Buddha kedalam keyakinan masayarakat Sunda sifatnya begitu pragmatis dan hanya dipahami sebagai bentuk pemahaman akan alam semesta; menjelaskan misteri semesta yang tak terperanai. Lalu pada masa selanjutnya, kedatangan agama Islam mendapatkan sambutan yang hangat, masyarakat Sunda seakan kembali kepada keyakinan tunggal akan Tuhan Yang Esa tanpa ilah-ilah pendukung untuk menjelaskan misteri semesta.
Masyarakat Sunda selalu percaya bahwa yang gaib bersemayam didalam alam raya dan oleh akrena itulah masyarakat Sunda begitu menjaga alam sekitarnya. Hal tersebut memberikan sebuah asumsi bahwa dasar kultur masyarakat Sunda adalah kepercayaan yang kuat terhadap yang gaib sehingga tingkat kesadaran mereka begitu tinggi dalam menjaga semesta beserta isinya. Kepercayaan tersebut jelas tidak bertentangan dengan ajaran Islam yang memang mengajarkan Keesaan Tuhan dan Kebesaran Tuhan yang meliputi semesta beserta isinya. Apa bila penghayatan terhadap keyakinan masyarakat Sunda dihayati kembali dengan penalaran yang lebih kritis maka keniscahya.



Dr. Gugun Gunadi, M.Si. Reformulasi Kearifan Lokal Dalam Era Global. Makalah Martikulasi Program Pascasarjana STSI Bandung, 16 Maret 2012.